Bunga
Bunga, yang juga dikenal sebagai kembang atau puspa, merupakan struktur reproduktif pada tumbuhan berbunga. Umumnya, bunga tersusun dalam empat lingkar tingkat yang mengitari ujung tangkai. Keempatnya meliputi: kelopak, yakni daun yang termodifikasi untuk menyangga bunga; mahkota, yang kerap berevolusi untuk menarik penyerbuk; benang sari sebagai organ jantan tempat serbuk sari dihasilkan; serta putik sebagai organ betina tempat serbuk sari diterima dan digerakkan menuju sel telur. Apabila bunga tersusun dalam kelompok, gugusan tersebut dikenal sebagai suatu perbungaan.
Perkembangan bunga merupakan proses yang kompleks dan sangat penting dalam daur hidup tumbuhan berbunga. Pada kebanyakan tumbuhan, bunga mampu membentuk sel kelamin jantan dan betina sekaligus. Serbuk sari, yang menjadi pembawa sel kelamin jantan, dipindahkan antara bagian jantan dan betina dalam proses penyerbukan. Penyerbukan dapat terjadi antara individu yang berbeda, sebagaimana pada penyerbukan silang, atau dalam satu individu, bahkan pada satu bunga yang sama, seperti pada penyerbukan sendiri. Pergerakan serbuk sari dapat disebabkan oleh hewan, misalnya burung dan serangga, atau oleh agen tak hidup seperti angin dan air. Warna serta bentuk bunga turut membantu keberhasilan penyerbukan.
Setelah penyerbukan, sel-sel kelamin akan menyatu melalui proses pembuahan, yang merupakan tahapan kunci dalam reproduksi seksual. Melalui pembelahan sel dan inti, sel hasil pembuahan berkembang menjadi sebuah biji yang mengandung struktur-struktur penting bagi kelangsungan hidup serta pertumbuhan tumbuhan baru. Pada saat yang sama, bagian betina bunga berubah menjadi buah, sementara struktur bunga lainnya mati. Fungsi buah adalah melindungi biji sekaligus membantu penyebarannya menjauh dari tumbuhan induk. Penyebaran biji dapat dilakukan oleh makhluk hidup, misalnya burung yang memakan buah lalu mengeluarkan bijinya ketika mereka buang air besar. Faktor tak hidup seperti angin dan air pun dapat mendukung penyebarannya.
Bunga pertama kali berevolusi sekitar 150 hingga 190 juta tahun lalu, pada periode Jura. Tumbuhan berbunga kemudian menggantikan berbagai tumbuhan berbiji tak berbunga di banyak ekosistem karena keunggulan reproduktifnya. Dalam kajian klasifikasi tumbuhan, bunga menjadi ciri utama yang digunakan untuk membedakan berbagai kelompok tumbuhan. Selama ribuan tahun manusia memanfaatkan bunga untuk beragam tujuan: hiasan, pengobatan, bahan pangan, serta pembuatan wewangian. Dalam budaya manusia, bunga memegang peran simbolis dan hadir dalam seni, sastra, praktik keagamaan, ritual, serta festival. Segala aspek bunga—mulai dari ukuran, bentuk, warna, hingga aromanya—menunjukkan keberagaman yang sangat luas dalam dunia tumbuhan berbunga. Ukuran bunga bervariasi dari 0,1 mm hingga 1 m, mulai dari bentuk yang sangat kecil dan sederhana hingga yang mendominasi penampilan seluruh tumbuhan. Tumbuhan berbunga mendominasi sebagian besar ekosistem di dunia, dan kelompok ini sendiri mencakup beragam bentuk kehidupan, dari anggrek mungil dan berbagai tanaman pangan penting hingga pepohonan raksasa.
Etimologi
suntingDalam botani, bunga didefinisikan sebagai struktur reproduktif yang hanya terdapat pada tumbuhan berbunga.[1] Sementara itu, tumbuhan tidak berbunga seperti tumbuhan berbiji terbuka memiliki struktur reproduktif yang menyerupai bunga yang disebut kerucut runjung.[2][catatan 1] Istilah mekar memiliki definisi serupa, tetapi kerap pula digunakan untuk menggambarkan kumpulan bunga pada satu tumbuhan, seperti dalam ungkapan: diselimuti oleh mekarnya bunga.[4] Kata bunga juga lazim dipakai untuk menyebut keseluruhan tumbuhan yang menghasilkan bunga.[4]
Fungsi
suntingTujuan utama sebuah bunga adalah melakukan reproduksi bagi individunya,[5] sehingga menunjang keberlangsungan spesies.[6] Bunga tidak hanya menghasilkan spora yang kemudian berkembang menjadi gametofit penghasil sel kelamin hingga terbentuknya sel hasil pembuahan, tetapi juga membentuk serta membantu penyebaran biji.[7] Reproduksi seksual antartumbuhan menghasilkan adaptasi evolusioner yang meningkatkan peluang kelangsungan hidup suatu spesies. Tumbuhan mengutamakan penyerbukan silang karena proses ini menyatukan sel kelamin dari tumbuhan yang secara genetik berbeda dalam satu spesies, sehingga memperkaya keanekaragaman genetik. Memfasilitasi proses tersebut merupakan salah satu fungsi utama bunga dan kerap tercermin dalam bentuk serta struktur bunganya.[7] Ciri-ciri yang berevolusi untuk menarik penyerbuk merupakan bentuk adaptasi yang paling umum ditemukan.[8]
Struktur
sunting
Struktur bunga, yang dalam biologi disebut morfologi bunga,[9] dapat dipahami dalam dua bagian: bagian vegetatif, yang terdiri dari struktur non-reproduktif seperti mahkota; dan bagian reproduktif atau seksual. Sebuah bunga yang lengkap,[10] tersusun atas empat jenis struktur yang disusun dalam kelompok yang disebut lingkar atau whorl. Struktur-struktur ini tumbuh mengitari ujung sebuah tangkai pendek atau sumbu yang disebut reseptakel.[11] Empat lingkar utama (dari dasar bunga ke arah atas) adalah kaliks, mahkota, androesium, dan ginoesium.[12]
Vegetatif
suntingBagian bunga yang tidak berperan dalam reproduksi, atau bagian vegetatif, dikenal secara kolektif sebagai periantium, yang terdiri atas kaliks (daun luar yang termodifikasi) dan mahkota bunga. Reseptakel adalah bagian menebal pada tangkai bunga, disebut pedisel, yang menyangga seluruh struktur bunga lainnya.[10][13]
Kaliks
suntingBagian kelopak, yang secara keseluruhan disebut kaliks, merupakan daun yang termodifikasi dan tersusun pada lingkar terluar bunga. Kelopaknya menyerupai daun,[14] dengan pangkal yang lebar, memiliki pori, pigmen hijau, dan terkadang memiliki tonjolan yang analog dengan daun penumpu. Kelopak sering kali bertekstur lilin, kuat, dan tumbuh cepat untuk melindungi bunga selama tahap perkembangan.[13][15] Meski pada beberapa spesies kelopak dapat rontok saat dewasa, kelopak lebih umum bertahan untuk melindungi buah serta membantu penyebarannya.[16] Pada sebagian bunga, kelopak dapat menyatu sebagian atau seluruhnya.[15][17]
Mahkota
suntingBagian mahkota, yang secara kolektif disebut korola,[16] merupakan struktur mirip daun yang hampir atau sama sekali tidak berserat, dan membentuk lingkar terdalam dari periantium. Mahkota biasanya tipis, lembut, dan berwarna, atau memiliki bentuk serta aroma tertentu untuk mendorong dan memudahkan penyerbukan.[18] Mahkota bunga dapat menyatu satu sama lain.[19] Mahkota juga kerap memiliki pola yang hanya tampak dalam cahaya ultraviolet, yang dapat dilihat oleh penyerbuk namun tidak oleh manusia.[18] Pada beberapa bunga, mahkota dan kelopak menjadi tidak dapat dibedakan satu sama lain.[20]
Reproduktif
suntingSemua tumbuhan berbunga bersifat heterospor, artinya setiap individu menghasilkan dua jenis spora. Spora dibentuk dari tumbuhan dewasa yang memiliki dua set kromosom, dan terbagi menjadi mikrospora sebagai cikal bakal serbuk sari, dan megaspora, yang nantinya menjadi kantung embrio. Serbuk sari dan kantung embrio merupakan gametofit jantan dan betina, yakni struktur penghasil sel kelamin yang hanya memiliki satu set kromosom. Mikrospora dihasilkan melalui meiosis di dalam kepala sari, bagian jantan bunga,[16] sedangkan megaspora terbentuk di dalam bakal biji yang berada dalam ovarium.[21][22] Seperti pada seluruh tumbuhan heterospor, gametofit juga berkembang di dalam sporanya.[21]
Jantan
suntingAndroesium adalah lingkar bagian jantan yakni benang sari, penghasil serbuk sari. Benang sari biasanya terdiri atas sebuah kepala sari yang tersusun atas empat kantung serbuk sari dalam dua selubung yang disebut teka, dan dihubungkan dengan sebuah filamen atau tangkai.[16][19] Kepala sari berisi mikrospora yang berkembang menjadi serbuk sari (gametofit jantan) setelah menjalani meiosis.[21] Meskipun menampilkan keragaman bentuk paling luas di antara organ bunga,[catatan 2] androesium biasanya terbatas pada satu lingkar, dan hanya pada kasus langka dalam dua lingkar.[19]
Betina
suntingGinoesium, yang terdiri atas satu atau lebih karpel, merupakan bagian betina bunga dan terletak pada lingkar terdalam.[16] Setiap karpel terdiri atas: sebuah stigma tempat serbuk sari diterima; tangkai putik, yakni tangkainya; dan sebuah ovarium yang berisi bakal biji sekaligus gametofit betina. Karpel dapat menyatu satu sama lain dan secara kolektif sering disebut pistil. Di dalam ovarium, bakal biji melekat pada plasenta melalui struktur yang dinamakan funikulus.[24][25]
Variasi
suntingMeskipun sebagian besar tumbuhan menghasilkan bunga dengan empat lingkar, (yakni daun pelindung, mahkota bunga, organ jantan, dan organ betina) beserta sub-struktur khasnya, variasi wujud bunga di antara tumbuhan berbunga sangatlah luas.[10][27] Variasi tersebut mencakup seluruh aspek bunga, mulai dari ukuran, bentuk, hingga warnanya.[10] Bunga dapat berukuran sekecil 0,1 mm (misalnya Wolffia) hingga mencapai diameter 1 m pada padma raksasa (Raflesia arnoldii).[10] Selain itu, empat bagian utama bunga lazimnya didefinisikan berdasarkan posisinya, bukan fungsinya. Banyak bunga tidak memiliki sebagian bagian tersebut, memiliki bagian yang termodifikasi untuk fungsi lain, atau mengandung bagian yang secara tampak menyerupai bagian lain.[10][28][29] Pada sejumlah bunga, organ seperti benang sari, stigma, dan sepal mengalami modifikasi hingga tampak serupa dengan petal. Hal ini sangat umum pada tanaman budidaya (misalnya mawar), di mana bunga dengan banyak "petal tambahan" dianggap lebih menarik.[30][31]
Sebagian besar bunga memiliki simetri.[32] Jika bunga dibelah melalui sumbu pusat dari arah mana pun dan menghasilkan dua bagian yang simetris,[33] bunga tersebut disebut regular (misalnya pada suku teki-tekian). Ini merupakan contoh simetri radial. Jika hanya terdapat satu bidang simetri (seperti pada anggrek),[34] bunga disebut tidak beraturan. Dalam kasus yang sangat jarang, ketika bunga sama sekali tidak memiliki simetri, bunga tersebut disebut asimetris.[35][36] Simetri bunga merupakan pendorong utama keberagaman morfologi bunga, karena sifat ini terbentuk melalui koevolusi antara bunga dan penyerbuknya. Bunga tak beraturan sering berevolusi bersama penyerbuk tertentu, sedangkan bunga bersimetri radial cenderung menarik beragam jenis penyerbuk.[37][catatan 3]
Pada mayoritas spesies, bunga tunggal memiliki bagian betina dan jantan sekaligus, bunga semacam ini disebut bunga sempurna, biseksual, atau hermafrodit. Pada beberapa spesies, bunga bersifat tidak sempurna atau uniseksual, hanya memiliki salah satu jenis kelamin. Jika bunga jantan dan betina tumbuh pada satu individu yang sama, spesies tersebut disebut monoesis. Namun, jika tiap individu hanya menghasilkan bunga jantan atau betina saja, spesies tersebut disebut diesis.[39] Banyak bunga memiliki nektarium, yaitu kelenjar penghasil nektar, cairan manis yang menarik penyerbuk. Bentuknya berbeda-beda antara satu taksa dengan lainnya,[40] dan nektarium tidak dianggap sebagai organ tersendiri.[40]
Beberapa bunga tidak memiliki tangkai atau hanya memiliki tangkai yang sangat tereduksi, sehingga bunga tersebut melekat langsung pada tubuh tumbuhan.[41] Ada pula berbagai struktur pada beberapa tumbuhan yang menyerupai bunga atau organ bunga. Contohnya adalah korona, tonjolan berbentuk mahkota;[42] serta pseudonektarium, struktur mirip nektarium namun tidak menghasilkan nektar.[43] Pada tumbuhan yang terinfeksi penyakit, dapat muncul filodi, bagian bunga yang berubah menjadi mirip daun.[44]

Perbungaan
suntingPada tumbuhan yang menghasilkan lebih dari satu bunga pada sebuah poros, gugusan bunga secara keseluruhan disebut perbungaan.[10] Beberapa perbungaan tersusun atas banyak bunga kecil yang terposisikan sedemikian rupa sehingga menyerupai satu bunga tunggal. Susunan demikian dikenal sebagai pseudantium.[45] Sebuah aster atau bunga matahari, misalnya, bukanlah satu bunga, melainkan perbungaan yang tersusun dari banyak floret—bunga-bunga kecil yang rapat.[46] Suatu perbungaan dapat mencakup batang-batang khusus dan daun-daun termodifikasi yang disebut daun pelindung, serta braktolea yang lebih kecil.[11]
Diagram dan rumus bunga
sunting
Rumus bunga adalah cara untuk menggambarkan struktur bunga menggunakan huruf, angka, dan simbol secara ringkas. Rumus ini dapat mewakili sebuah kelompok spesies maupun spesies tertentu, dan biasanya menampilkan kisaran jumlah berbagai organ. Format rumus bunga bervariasi di berbagai belahan dunia, tetapi seluruhnya menyampaikan informasi yang sama.[47][48]
Diagram bunga adalah diagram skematis yang dapat digunakan untuk menampilkan ciri-ciri penting dari suatu bunga, termasuk posisi relatif berbagai organ, keberadaan fusi organ dan simetri, serta perincian struktural lainnya.[49]
Warna
sunting
Berbeda dengan bagian vegetatif tumbuhan yang umumnya berwarna hijau, bunga sering kali tampil penuh warna. Ini mencakup kelopak, dan pada beberapa tumbuhan juga benang sari, kepala sari, stigma, ovarium, serbuk sari, tangkai putik, bahkan nektar.[50] Warna-warni tersebut terutama dihasilkan oleh pigmen biologis, yaitu molekul yang mampu menyerap dan menyimpan energi dari cahaya.[51][52] Ragam pigmen dan ragam warna bunga memberikan manfaat tersendiri bagi tumbuhan, termasuk melindungi jaringan dari kerusakan serta menuntun para penyerbuk, baik yang umum maupun yang sangat khusus, menuju bunga tersebut.[53][54]
Warna, atau efek warna, juga dapat dihasilkan melalui pewarnaan struktural, yakni mekanisme ketika warna terbentuk oleh struktur mikro pada permukaan yang mengganggu gelombang cahaya.[55] Mekanisme ini mencakup iridesensi (seperti pada beberapa tulip) dan kristal fotonik (seperti pada edelweiss), yang membiaskan cahaya melalui galur-galur mikroskopis.[56][57] Warna bunga juga dapat berubah; kadang perubahan ini berperan sebagai sinyal bagi penyerbuk (seperti pada Viola cornuta). Perubahan warna juga dapat dipicu oleh suhu; oleh pH, seperti pada antoksantin dalam Hydrangea. Perubahan warna juga dapat dipicu oleh logam, gula, dan bentuk sel.[58]
Perkembangan
suntingPerkembangan bunga bermula ketika pertumbuhan vegetatif beralih menjadi pertumbuhan floral.[59] Peralihan ini dikendalikan oleh faktor genetik sekaligus faktor lingkungan.[60] Pembentukan bunga berawal dari sebuah meristem pucuk tunas (shoot apical meristem: SAM), yakni sekumpulan sel yang terus membelah dan bertanggung jawab atas pembentukan daun serta bakal tunas. Organ-organ penyusun bunga, dalam kebanyakan kasus sepal, petal, organ jantan, dan organ betina, tumbuh dari meristem bunga yang sifatnya terbatas, yang dibentuk oleh SAM.[59] Model ABC perkembangan bunga digunakan pada banyak jenis tumbuhan untuk menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok gen berinteraksi dengan satu sama lain sehingga menghasilkan organ tertentu.[61] Secara umum, seluruh aspek perkembangan floral dikendalikan oleh sebuah jaringan pengatur gen dari gen-gen MADS-box, termasuk gen ABC, beserta protein-protein terkait.[62][63] Bagi tumbuhan, peralihan menuju fase berbunga merupakan perubahan besar yang harus terjadi pada waktu yang tepat demi menjamin keberhasilan reproduksi. Waktu ini ditentukan dengan menafsirkan isyarat internal maupun lingkungan, seperti panjang siang.[60]
Model ABC merupakan prinsip penyatu pertama dalam ilmu perkembangan bunga, dan gagasan utamanya terbukti berlaku pada sebagian besar tumbuhan berbunga.[64] Model ini menggambarkan bagaimana tiga kelompok gen—A, B, dan C—mengatur pembentukan organ bunga. Aktivitas ketiga kelompok gen ini saling berinteraksi untuk menentukan identitas perkembangan organ primordium dalam meristem pucuk bunga. Gen A saja membentuk sepal pada lingkar luar (whorl) pertama. Kombinasi A dan B membentuk petal di lingkar kedua. Gen C saja membentuk karpel di pusat bunga. Gabungan C dan B membentuk benang sari di lingkar ketiga.[61] Model ini kemudian dikembangkan menjadi model ABCDE yang lebih kompleks, yang menambahkan dua kelompok gen tambahan untuk menjelaskan pembentukan struktur seperti bakal biji.[65]
Peralihan menuju fase berbunga merupakan salah satu perubahan fase terpenting dalam daur hidup tumbuhan.[10] Peralihan ini harus berlangsung pada saat yang tepat untuk memastikan terjadinya pembuahan dan pembentukan biji, sehingga mencapai keberhasilan reproduktif yang maksimal. Untuk itu tumbuhan menafsirkan bermacam isyarat internal dan isyarat lingkungan, seperti perubahan kadar hormon tumbuhan (misalnya giberelin),[66] perubahan suhu musiman, dan perubahan panjang siang.[60] Banyak tumbuhan, termasuk yang berumur lebih dari dua tahun maupun yang hanya berumur dua tahun, memerlukan paparan dingin (vernalisasi) untuk dapat berbunga.[66][67][68] Isyarat-isyarat ini dipadukan secara molekuler melalui sinyal kompleks bernama florigen, yang melibatkan beragam gen. Florigen diproduksi di daun ketika kondisinya menguntungkan untuk reproduksi, kemudian berperan di pucuk batang untuk mengalihkan perkembangan dari pembentukan daun menuju pembentukan bunga.[69] Setelah terbentuk, bunga dapat membuka dan menutup mahkotanya pada waktu tertentu dalam sehari, biasanya sekitar waktu senja dan fajar.[70] Bunga juga dapat mengikuti pergerakan matahari untuk tetap hangat, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk menarik penyerbuk. Kedua mekanisme ini dikendalikan oleh ritme sirkadian tumbuhan serta responsnya terhadap perubahan lingkungan.[71]
Penyerbukan
suntingKarena bunga merupakan organ reproduktif tumbuhan, bunga menjadi perantara penyatuan sperma dalam serbuk sari dengan sel telur dalam bakal biji yang tersimpan di dalam ovarium.[73] Penyerbukan adalah proses perpindahan serbuk sari dari bagian jantan ke bagian betina.[74] Perpindahan ini dapat terjadi di antara bunga-bunga (atau dari satu bagian bunga ke bagian lainnya) pada tumbuhan yang sama, atau yang dikenal sebagai penyerbukan sendiri, atau di antara bunga pada tumbuhan yang berbeda, ataubanyak penyerbukan silang. Penyerbukan silang lebih umum terjadi pada tumbuhan berbunga karena meningkatkan variasi genetik.[7][75] Penyerbukan biasanya hanya berlangsung ketika bunga berada dalam tahap mekar penuh dan berfungsi.[76]
Tumbuhan berbunga umumnya menghadapi tekanan evolusioner untuk mengoptimalkan perpindahan serbuk sari mereka, yang tercermin dalam morfologi bunga dan strategi reproduksinya.[77][78] Agen yang membawa serbuk sari antar tumbuhan disebut vektor. Sekitar 80% tumbuhan berbunga memanfaatkan vektor biotik atau makhluk hidup. Sebagian lainnya menggunakan vektor abiotik atau tidak hidup, atau kombinasi keduanya.[79][80]
Penyerbukan biotik
suntingBunga yang memanfaatkan vektor biotik menarik dan menggunakan hewan untuk memindahkan serbuk sari dari satu bunga ke bunga berikutnya. Kerap kali, bunga-bunga ini memiliki bentuk dan rancangan yang secara khusus ditujukan untuk memikat penyerbuk sekaligus memastikan perpindahan serbuk sari berlangsung dengan efektif.[8][81] Bunga paling sering memanfaatkan serangga,[82][83] tetapi juga: burung, kelelawar, kadal,[84] mamalia lainnya,[85] siput dan bekicot,[82] serta, dalam kasus yang jarang, krustase dan cacing.[85] Imbalan yang ditawarkan bunga kepada penyerbuk untuk mendorong terjadinya penyerbukan meliputi: makanan (seperti serbuk sari, pati, atau nektar), pasangan kawin, tempat berlindung, lokasi untuk membesarkan anakan, dan pseudokopulasi (penipuan seksual).[81] Dalam bentuk yang terakhir, bunga mengeluarkan aroma atau membentuk struktur yang dapat memicu rangsangan seksual dan menghasilkan penyerbukan melalui aktivitas kawin yang terjadi setelahnya.[86] Penyerbuk juga dapat tertarik oleh rangsangan lain seperti ukuran dan aroma (seperti pada bunga bangkai). Warna turut berperan, termasuk adanya panduan nektar yang membantu penyerbuk menemukan lokasi nektar; tanda-tanda ini kadang hanya tampak di bawah cahaya ultraviolet.[8][87][88]
Banyak bunga memiliki hubungan erat hanya dengan satu atau beberapa penyerbuk tertentu. Struktur bunganya dapat berevolusi sedemikian rupa untuk memungkinkan atau mendorong penyerbukan oleh organisme-organisme tersebut. Mekanisme ini meningkatkan efisiensi, sebab peluang terjadinya penyerbukan dengan serbuk sari dari spesies tumbuhan yang sama menjadi lebih besar.[89] Kedekatan hubungan ini merupakan contoh koevolusi, karena tumbuhan dan penyerbuknya berkembang bersama dalam rentang waktu panjang hingga saling menyesuaikan kebutuhan satu sama lain.[54]
Penyerbukan abiotik
suntingBunga yang mengandalkan vektor abiotik, yakni agen yang tidak hidup, menggunakan angin atau, dalam kasus yang jauh lebih jarang, air, untuk memindahkan serbuk sari dari satu bunga ke bunga lainnya.[80] Spesies penyerbuk-angin tidak memerlukan daya tarik visual sehingga umumnya tidak menghasilkan bunga yang besar, mencolok, atau berwarna terang; mereka juga tidak memiliki nektarium maupun aroma yang khas.[89] Sementara serbuk sari pada bunga yang diserbukkan serangga berukuran besar, lengket, dan kaya akan protein sebagai bentuk "imbalan", serbuk sari pada bunga yang diserbukkan angin biasanya berukuran kecil, sangat ringan, permukaannya halus, dan hampir tidak memiliki nilai gizi.[90][91]
Pembuahan dan perkembangan biji
sunting
Pembuahan adalah proses penggabungan sel kelamin jantan dan betina untuk menghasilkan sebuah zigot, dari mana organisme baru berkembang.[6] Pada manusia, hubungan seksual mengakibatkan sel-sel sperma dilepaskan ke dalam vagina. Meski tidak semuanya bertahan hidup, sperma bergerak hingga salah satunya mencapai sel telur di tuba fallopi, tempat sel kelamin jantan dan betina berfusi dalam proses pembuahan.[92]
Pada tumbuhan berbunga, pembuahan didahului oleh penyerbukan, yakni pemindahan serbuk sari dari stamen ke karpel. Proses ini mencakup plasmogami, peleburan protoplas (sel tanpa dinding sel), serta kariogami, peleburan inti sel. Ketika serbuk sari mendarat di stigma bunga, ia mulai membentuk sebuah tabung serbuk sari, yang tumbuh menuruni stilus hingga mencapai ovarium. Setelah menembus bagian pusat ovarium, tabung tersebut memasuki aparatus telur dan dipandu oleh sebuah sel khusus.[93]
Selanjutnya, ujung tabung serbuk sari pecah dan melepaskan dua sel sperma; salah satunya bergerak menuju sel telur, sekaligus kehilangan membran sel dan sebagian besar substansi seperti gel yang mengisi selnya. Inti sel sperma kemudian berfusi dengan inti sel telur, menghasilkan sebuah zigot: sebuah sel diploid yang memiliki dua salinan dari setiap kromosom.[6][93] Tumbuhan berbunga mengalami pembuahan ganda, yang melibatkan plasmogami dan kariogami sekaligus. Dalam pembuahan ganda, sel sperma kedua juga berfusi dengan dua inti kutub pada sel pusat. Karena ketiga inti tersebut haploid, hasil akhirnya adalah sebuah inti jaringan penyimpan nutrisi yang triploid.[93]
Perkembangan biji dan buah
sunting
Setelah terbentuk, zigot mulai tumbuh melalui pembelahan inti dan sel, yang disebut mitosis, hingga akhirnya menjadi sekelompok kecil sel. Sebagian berkembang menjadi embrio,[94] sementara bagian lainnya menjadi suspensor, yaitu struktur yang mendorong embrio masuk ke dalam endosperma dan kemudian menghilang. Pada tahap ini juga terbentuk dua kelompok sel kecil yang kelak menjadi kotiledon, atau daun awal, yang berfungsi sebagai cadangan energi. Tahap berikutnya meliputi pembentukan sejumlah struktur penting, termasuk: akar embrionik, batang embrionik, dan perbatasan akar–tunas itu sendiri. Pada langkah terakhir, jaringan pembuluh mulai berkembang mengelilingi biji.[95]
Ovarium, tempat biji terbentuk dari ovula, tumbuh menjadi sebuah buah. Seluruh bagian bunga utama lainnya layu dan mati selama perkembangan ini, termasuk: stilus, stigma, stamen, petal, dan sepal. Proses ini disebut senesen floral; sering kali dipicu atau dipercepat oleh selesainya penyerbukan. Kematian lebih menguntungkan karena mempertahankan bunga merupakan biaya metabolik yang besar bagi tumbuhan; meski demikian, bunga dapat bertahan mulai dari hitungan jam hingga beberapa bulan.[96][97] Buah terdiri atas tiga struktur utama: lapisan luar berupa kulit; bagian berdaging; dan batu atau lapisan terdalam. Perikarp, yang dapat mencakup satu atau lebih struktur tersebut, secara kolektif merupakan dinding buah, segala sesuatu selain biji. Ukuran, bentuk, ketebalan, dan kekuatan perikarp berbeda-beda antara buah kering dan buah berdaging. Sifat-sifat ini berhubungan langsung dengan strategi penyebaran biji, karena fungsi utama buah adalah memfasilitasi atau mendorong penyebaran biji, sekaligus melindunginya selama proses tersebut.[95][98]
Penyebaran biji
suntingSetelah penyerbukan, pembuahan, dan akhirnya perkembangan biji serta buah, sebuah mekanisme atau vektor biasanya diperlukan untuk menyebarkan buah menjauhi tanaman induk.[99] Pada tumbuhan berbunga, biji disebarkan menjauh untuk menghindari persaingan antara induk dan anakan,[100] sekaligus memungkinkan kolonisasi daerah baru. Vektor dapat dibagi menjadi dua kategori besar: vektor eksternal dan vektor internal.[101][102] Vektor eksternal mencakup makhluk hidup seperti burung atau kelelawar, serta faktor abiotik seperti air dan angin.[101][103] Vektor internal, yang bersumber dari tanaman itu sendiri,[101][102] misalnya buah yang meledak untuk melepaskan biji, sebagaimana terjadi pada mistletoe kerdil.[104]
Evolusi
sunting
Bunga pertama kali hadir antara 150 hingga 190 juta tahun yang lalu, pada periode Jura.[107][108] Meskipun analisis jam molekuler menunjukkan kemunculan awal bagi tumbuhan berbunga, bukti pasti tertua dari catatan fosil berasal dari 125 hingga 130 juta tahun lalu, pada Kapur Awal.[109][110][111][catatan 5] Waktu pasti ketika tumbuhan berbunga bercabang dari kelompok tumbuhan berbiji lainnya tetap menjadi salah satu pertanyaan klasik dalam biologi evolusi.[108][112][113] Sebelum hadirnya bunga, tumbuhan bereproduksi menggunakan strobilus (pada gymnospermae),[114] dan spora (pada pteridophyta).[115] Transformasi daun penghasil spora menjadi struktur seperti stamen dan karpel merupakan tonggak paling jelas dalam evolusi kompleks bunga.[111] Masih terdapat perdebatan apakah perubahan-perubahan tersebut terjadi bertahap atau secara mendadak seperti mutasi homeotik, serta aspek manakah dari morfologi bunga yang pertama muncul.[116][117]
Bunga merupakan inovasi evolusioner terpenting tumbuhan berbunga,[105] memberinya kemampuan untuk memanfaatkan penyerbuk hewan secara efisien.[111] Keunggulan evolusioner lainnya mencakup kemampuan menempatkan bagian jantan dan betina pada satu sumbu; serta pada sumbu yang sama menghadirkan karpel untuk melindungi bakal biji, stamen untuk menampilkan serbuk sari, dan periantium untuk perlindungan. Selain itu, mereka memelopori pembuahan ganda, yang memungkinkan investasi energi (ke dalam endosperma) yang diperpanjang hingga setelah penyerbukan. Gametofit sebagai penghasil sel kelamin menjadi sangat tereduksi, sehingga proses penting ini mendapat perlindungan lebih besar.[118] Keseluruhan fitur ini menghasilkan keamanan dan efisiensi reproduksi yang lebih tinggi.[108] Hal ini memungkinkan tumbuhan berbunga menggantikan banyak tumbuhan berbiji lainnya, seperti Pinales, cycad, Gnetophyta, dan Ginkgoales, di sebagian besar ekosistem.[108]
Salah satu kekuatan pendorong utama dalam evolusi bunga adalah koevolusi, yakni ketika penyerbuk dan bunga berevolusi bersama,[119] sering kali saling menguntungkan. Hal ini tampak menonjol pada serangga seperti lebah, tetapi juga ditemukan dalam hubungan bunga–penyerbuk yang melibatkan burung dan kelelawar. Banyak bunga berevolusi sedemikian rupa untuk mempermudah penyerbukan oleh spesies tertentu, meningkatkan efisiensi sekaligus memastikan tingkat keberhasilan penyerbukan yang lebih tinggi, karena mereka menerima lebih sedikit serbuk sari dari spesies lain.[54][89] Namun, ketergantungan yang sangat erat ini meningkatkan risiko kepunahan, sebab hilangnya salah satu pihak hampir pasti menyebabkan punahnya pihak lain.[120] Bunga-bunga modern memperlihatkan beragam ciri hasil koevolusi, termasuk bentuk, ukuran, simetri, waktu mekar, warna, aroma, dan hadiah penyerbuk (seperti serbuk sari, nektar, dan minyak).[8][88] Sebagai contoh, bunga madara Jepang membuka kelopaknya pada malam hari untuk menarik ngengat nokturnal, yang merupakan penyerbuk lebih efisien daripada lebah diurnal.[121] Dengan hadirnya bunga, beserta adaptasi lainnya, tumbuhan berbunga dengan cepat mengalami diversifikasi.[catatan 6] Sekitar 90% dari seluruh spesies tumbuhan darat hidup merupakan tumbuhan berbunga.[106] Hal ini sebagian disebabkan oleh koevolusi, yang mendorong spesialisasi dan akhirnya spesiasi, di mana populasi terdiferensiasi menjadi spesies berbeda.[122] Baik kekuatan hubungan dekat antara penyerbuk dan bunga maupun kelangsungan hidup masing-masing spesies sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Penurunan jumlah penyerbuk telah menyebabkan kepunahan banyak tumbuhan berbunga.[123]
Taksonomi
suntingDalam taksonomi tumbuhan, yakni bidang yang mempelajari klasifikasi dan identifikasi tumbuhan, morfologi bunga dimanfaatkan secara meluas, dan telah demikian setidaknya sejak Yunani kuno.[124][125] Meskipun ada sejumlah karya sebelumnya yang membahas taksonomi tumbuhan, karya Carolus Linnaeus pada tahun 1753 berjudul Species Plantarum yang menjadi tempat ia mengemukakan sistem klasifikasinya, dapat dipandang sebagai karya taksonomi pertama yang mengakui signifikansi bunga.[125][126] Ia mengidentifikasi 24 kelas tumbuhan berbunga, terutama berdasarkan jumlah, panjang, dan pelekatan stamen.[126][127][128] Sistem-sistem yang muncul kemudian pada abad ke-18 dan ke-19 semakin menitikberatkan ciri-ciri alami. Upaya ini termasuk mempertimbangkan seluruh bagian tumbuhan, sehingga spesies yang sangat berbeda tidak ditempatkan dalam kelompok yang sama, sebuah kekurangan yang sering terjadi dalam sistem Linnaeus.[128][129][130]
Pada 1963, para ahli biologi Robert Sokal dan Peter Sneath memperkenalkan metode taksonomi numerik, yang membedakan takson-takson berdasarkan karakter morfologis yang ditabulasi; termasuk karakteristik bunga. Langkah ini bertujuan menjadikan taksonomi tumbuhan lebih objektif, tetapi metode tersebut masih mengabaikan aspek evolusi sehingga kurang berguna dalam konteks tersebut.[131] Metode ini dan metode yang lebih awal seperti milik Linnaeus mengandalkan ciri-ciri morfologis. Namun, banyak botanis masa kini memanfaatkan pengurutan genetik, studi sel, serta kajian serbuk sari. Semua ini dimungkinkan oleh kemajuan dalam ilmu terkait DNA.[132] Kendati demikian, karakteristik morfologis seperti sifat bunga dan perbungaan tetap menjadi landasan utama taksonomi tumbuhan.[133][134][135]
Kegunaan
suntingSelama ribuan tahun, manusia di berbagai belahan dunia memanfaatkan bunga untuk aneka tujuan, termasuk sebagai hiasan, obat-obatan, narkotika,[136] pangan, rempah,[137] parfum,[138] dan minyak esensial. Banyak bunga dapat dimakan dan kerap digunakan dalam minuman maupun hidangan, seperti salad, untuk memberikan rasa, aroma, dan keindahan.[139] Beberapa perbungaan serta kelopak pelindung (braktea) atau tangkai bunga juga digolongkan sebagai sayuran; contohnya brokoli, kembang kol, dan articok. Bunga dapat disantap segar setelah dipetik atau dikeringkan untuk dimakan kemudian.[140] Florikultura merupakan kegiatan produksi dan penjualan bunga, mencakup penyiapan serta penyusunan bunga potong segar, misalnya dalam sebuah karangan bunga, sesuai keinginan pemesan.[141]
Sebagian besar tanaman budidaya memiliki bunga,[142] dan darinyalah dihasilkan berbagai produk pertanian umum, seperti biji dan buah.[6] Sekitar separuh lahan pertanian dunia ditanami oleh tiga tumbuhan berbunga: padi, gandum, dan jagung.[143] Bunga juga diseduh menjadi teh, baik secara tunggal, sebagaimana dalam teh herbal, maupun dipadukan dengan tanaman teh.[144][145] Minyak esensial dan aneka ekstrak bunga banyak digunakan dalam obat herbal maupun dekoksi karena mengandung zat fitokimia dan berpotensi memiliki efek anti-mikroba.[146][147] Bunga dari berbagai tumbuhan juga dimanfaatkan dalam pembuatan obat-obatan, seperti kanabis, bunga bakung semak, dan tapak dara Madagaskar.[136] Beberapa bunga digunakan sebagai rempah dalam masakan, termasuk safron dan cengkih; masing-masing berasal dari Crocus dan Syzygium aromaticum.[137]
Dalam kebudayaan
sunting"I know a bank where the wild thyme blows,
Where oxlips and the nodding violet grows,
Quite over-canopied with luscious woodbine,
With sweet musk-roses and with eglantine:
There sleeps Titania sometime of the night,
Lull'd in these flowers with dances and delight;""Aku tahu sebuah tebing tempat rempah liar berembus,
Tempat primula dan violet yang berayun tumbuh,
Bernaung rapat di bawah anyaman kamperfuli yang rimbun,
Dengan mawar kesturi dan mawar liar yang manis:
Di sanalah Titania kadang terlelap pada malam hari,
Dibuai bunga-bunga ini dalam tarian dan sukacita."
Para penyair kerap menghadirkan citra bunga, seperti dalam kutipan dari Impian Malam Pertengahan Musim Panas karya Shakespeare ini
Bunga memegang peranan penting dalam ragam simbolisme, dan kerap tampil dalam seni, ritual, praktik keagamaan, serta festival. Tumbuhan telah dibudidayakan di kebun demi bunganya selama sekitar sepuluh ribu tahun.[148][149] Bunga juga dikaitkan dengan pemakaman dalam banyak budaya, dan kerap diletakkan di dekat batu nisan sebagai tanda penghormatan.[150][151] Bunga juga ditempatkan di dekat patung atau kuil tokoh keagamaan maupun tokoh lain, kadang dibentuk menjadi karangan bunga.[152][153] Di beberapa tempat, jenazah dimakamkan dengan tubuh tertutup bunga atau direbahkan di atas hamparan bunga.[154] Bunga juga lekat dengan kasih sayang dan perayaan, dan diberikan kepada sesama di banyak wilayah karena alasan tersebut.[155][147] Permintaan ekonomi telah mendorong pembudidayaan bunga yang lebih tahan lama, lebih berwarna, dan lebih memanjakan mata.[156]
Bunga tampil luas dalam seni di berbagai medium, dan setiap jenis bunga sering diberi makna simbolis tertentu.[157][158] Sebagai contoh, violet dapat melambangkan kesederhanaan, kebajikan, atau kasih sayang.[159] Selain makna tersirat, bunga digunakan dalam bendera, lambang, dan segel; dengan demikian, bunga dapat mewakili negara atau tempat tertentu. Beberapa negara memiliki bunga nasional; misalnya, kembang sepatu merupakan bunga nasional Malaysia.[160] Dalam karya sastra, bunga hadir sebagai bagian dari citra suatu tempat dan sebagai metafora bagi kenikmatan, keindahan, dan kehidupan.[161]
- Alam benda bunga karya Ambrosius Bosschaert, 1614
- Seorang perempuan menaburkan bunga di atas sebuah lingga
- Pasar bunga di Guatemala
- Bunga-bunga diletakkan di atas sebuah makam
- Putri Désirée dari Swedia membawa bunga pada hari pernikahannya
Catatan
sunting- ↑ Beberapa kerucut tumbuhan berbiji terbuka memang menyerupai bunga. Kerucut pada Ginkgo biloba, misalnya, umumnya dianggap sebagai strobilus sederhana, bukan bunga.[3]
- ↑ Benang sari bervariasi dalam jumlah, ukuran, bentuk, orientasi, dan titik perlekatannya pada bunga.[19] Umumnya tumbuhan hanya memiliki satu tipe benang sari, tetapi beberapa spesies memiliki dua tipe: yang umum, dan yang memiliki kepala sari penghasil serbuk sari steril yang berfungsi menarik penyerbuk dengan menyediakan makanan (palinivor). Spesies demikian disebut heteranterus.[23]
- ↑ Karena penyerbuk hewan sendiri umumnya tidak simetris, terdapat hanya satu posisi yang paling nyaman bagi mereka ketika hinggap pada bunga tak beraturan. Keberadaan organ bunga lalu dapat diatur sedemikian rupa agar serbuk sari menempel pada bagian tubuh penyerbuk dengan posisi yang memastikan terjadinya penyerbukan pada bunga berikutnya.[38] Simetri bunga juga berperan dalam mempertahankan panas, yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kinerja optimal organ bunga.[37]
- ↑ Rumus ini menunjukkan bahwa bunga tersebut: (*) bersimetri radial, (K5) memiliki 5 sepal, (C(5)) memiliki 5 petal berfusi, (A5) memiliki 5 stamen, dan (G(2)) memiliki dua karpel berfusi.
- ↑ Salah satu bunga awal tersebut ialah Archaefructus liaoningensis dari Tiongkok; berumur sekitar 125 juta tahun.[109] Bahkan lebih tua dari Tiongkok ialah Archaefructus sinensis yang berumur 125–130 juta tahun. Pada 2015, Montsechia vidalii dari Spanyol diklaim berumur 130 juta tahun.[110]
- ↑ Adaptasi lain tersebut termasuk kerapatan urat daun dan stomata yang lebih tinggi; ukuran genom lebih kecil sehingga sel-sel lebih kecil; laju fotosintesis lebih tinggi; dan keberadaan pembuluh pada xylem.[118]
Referensi
sunting- ↑ Sinclair 1998, hlm. 589.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 221.
- ↑ Rudall et al. 2011, hlm. 151–152.
- 1 2 Sinclair 1998, hlm. 169.
- ↑ Beekman et al. 2016, hlm. 5.
- 1 2 3 4 Pandey 2023, hlm. 7.
- 1 2 3 Mauseth 2016, hlm. 238.
- 1 2 3 4 Mauseth 2016, hlm. 239–240.
- ↑ Sinclair 1998, hlm. 1012.
- 1 2 3 4 5 6 7 8 Pandey 2023, hlm. 15.
- 1 2 De Craene 2010, hlm. 4.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 3.
- 1 2 Mauseth 2016, hlm. 225–226.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 16.
- 1 2 De Craene 2010, hlm. 7.
- 1 2 3 4 5 Pandey 2023, hlm. 17.
- ↑ Sinclair 1998, hlm. 630.
- 1 2 Mauseth 2016, hlm. 226.
- 1 2 3 4 De Craene 2010, hlm. 8.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 786.
- 1 2 3 Leins 2010, hlm. 1–6.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 224.
- ↑ Peach & Mazer 2019, hlm. 598.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 229.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 14.
- ↑ Namba 2019, hlm. 403.
- ↑ Sattler 1973, hlm. xiv.
- ↑ Eames 1961, hlm. 12–13.
- ↑ Endress 1996, hlm. 11.
- ↑ Reynolds & Tampion 1983, hlm. 11, 17, & 41.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 20.
- ↑ Wang et al. 2023, hlm. 7.
- ↑ Wang et al. 2023, hlm. 1.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 99.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 25.
- ↑ Weberling 1992, hlm. 17–19.
- 1 2 Wang et al. 2023, hlm. 1–2.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 240–241.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 239.
- 1 2 De Craene 2010, hlm. 21.
- 1 2 Mauseth 2016, hlm. 243.
- ↑ Kostyun, Robertson & Preston 2019, hlm. 1.
- ↑ Delpeuch et al. 2022, hlm. 10.
- ↑ Namba 2019, hlm. 403 & 408.
- ↑ Baczyński & Claßen-Bockhoff 2023, hlm. 179.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 228.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 38.
- ↑ Sharma 2009, hlm. 165–166.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 36.
- ↑ Miller, Owens & Rørslett 2011, hlm. 282–284.
- ↑ Miller, Owens & Rørslett 2011, hlm. 284.
- ↑ Sun, Bhushan & Tong 2013, hlm. 14864.
- ↑ Miller, Owens & Rørslett 2011, hlm. 286.
- 1 2 3 Mauseth 2016, hlm. 240.
- ↑ Sun, Bhushan & Tong 2013, hlm. 14862.
- ↑ Sun, Bhushan & Tong 2013, hlm. 14873.
- ↑ Sun, Bhushan & Tong 2013, hlm. 14876.
- ↑ Miller, Owens & Rørslett 2011, hlm. 290–293.
- 1 2 Prunet et al. 2009, hlm. 1764.
- 1 2 3 Ausín et al. 2005, hlm. 689–705.
- 1 2 Mauseth 2016, hlm. 392–395.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 18–19.
- ↑ Ng & Yanofsky 2001, hlm. 186.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 19.
- ↑ Murai 2013, hlm. 379–380.
- 1 2 Pandey 2023, hlm. 21.
- ↑ Xu & Chong 2018, hlm. 997.
- ↑ Li et al. 2022, hlm. 62.
- ↑ Turck, Fornara & Coupland 2008, hlm. 573.
- ↑ Minorsky 2019, hlm. 217 & 222.
- ↑ Atamian et al. 2016, hlm. 587–589.
- ↑ Osiadacz & Kręciała 2014, hlm. 12.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 224 & 227.
- ↑ Walker 2020, hlm. 9.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 136.
- ↑ Walker 2020, hlm. 120.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 140.
- ↑ Friedman 2011, hlm. 911–913.
- ↑ Walker 2020, hlm. 55.
- 1 2 Ackerman 2000, hlm. 167–185.
- 1 2 Walker 2020, hlm. 68.
- 1 2 Sarma et al. 2007, hlm. 826.
- ↑ Walker 2020, hlm. 81.
- ↑ Walker 2020, hlm. 69–83.
- 1 2 Ollerton 2017, hlm. 356.
- ↑ Singer et al. 2006, hlm. 569.
- ↑ Walker 2020, hlm. 121.
- 1 2 Dellinger 2020, hlm. 1194.
- 1 2 3 Mauseth 2016, hlm. 241.
- ↑ Höcherl et al. 2012, hlm. 278–285.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 129.
- ↑ Georgadaki et al. 2016, hlm. 979.
- 1 2 3 Mauseth 2016, hlm. 234.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 199.
- 1 2 Mauseth 2016, hlm. 235–237.
- ↑ Rogers 2006, hlm. 309–310.
- ↑ Song et al. 2022, hlm. 2054.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 262.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 248.
- ↑ Bowler & Benton 2005, hlm. 205–225.
- 1 2 3 Pijl 1972, hlm. 71.
- 1 2 Howe & Smallwood 1982, hlm. 201–228.
- ↑ Forget 2005, hlm. 21.
- ↑ Pandey 2023, hlm. 263.
- 1 2 Armbruster 2014, hlm. 1.
- 1 2 Sauquet et al. 2017, hlm. 2.
- ↑ Magallón et al. 2015, hlm. 439.
- 1 2 3 4 Chanderbali et al. 2016, hlm. 1255.
- 1 2 Friis et al. 2003, hlm. 369.
- 1 2 Gomez et al. 2020, hlm. 1–2.
- 1 2 3 Mauseth 2016, hlm. 610.
- ↑ Magallón et al. 2015, hlm. 437.
- ↑ Wang 2023, hlm. 1.
- ↑ Chanderbali et al. 2016, hlm. 1257.
- ↑ Krishnamurthy 2015, hlm. 410.
- ↑ Becker, Alix & Damerval 2011, hlm. 1427.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 612–613.
- 1 2 Benton, Wilf & Sauquet 2022, hlm. 2025.
- ↑ Mauseth 2016, hlm. 765.
- ↑ Bawa 1990, hlm. 415.
- ↑ Feng et al. 2023, hlm. 531.
- ↑ Armbruster 2014, hlm. 1–2.
- ↑ Northfield & Ives 2013, hlm. 1.
- ↑ Sharma 2009, hlm. 8.
- 1 2 Sharma 2009, hlm. 10.
- 1 2 Sharma 2009, hlm. 21.
- ↑ Rouhan & Gaudeul 2021, hlm. 9.
- 1 2 Sharma 2009, hlm. 22.
- ↑ Rouhan & Gaudeul 2021, hlm. 11.
- ↑ Sharma 2009, hlm. 24–27.
- ↑ Rouhan & Gaudeul 2021, hlm. 12.
- ↑ Rouhan & Gaudeul 2021, hlm. 14.
- ↑ Sharma 2009, hlm. 11.
- ↑ Sharma 2009, hlm. 96.
- ↑ De Craene 2010, hlm. 58.
- 1 2 Coyago-Cruz et al. 2023, hlm. 22 & 26.
- 1 2 Vázquez-Fresno et al. 2019, hlm. 1.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 186.
- ↑ Santos & Reis 2021, hlm. 438.
- ↑ Santos & Reis 2021, hlm. 439.
- ↑ Zinn 2019, hlm. 5.
- ↑ Castel et al. 2024, hlm. 92.
- ↑ Delaney & von Wettberg 2023, hlm. 2.
- ↑ Vu & Alvarez 2021, hlm. 1–2.
- ↑ Zhang et al. 2022, hlm. 1.
- ↑ Voon, Bhat & Rusul 2012, hlm. 34.
- 1 2 Chauhan et al. 2024, hlm. 251.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 84.
- ↑ Goody 1993, hlm. 29.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 105.
- ↑ Goody 1993, hlm. 285.
- ↑ Chauhan et al. 2024, hlm. 252.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 113.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 106.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 111.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 136.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 210.
- ↑ Goody 1993, hlm. 232.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 209.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 218.
- ↑ Buchmann 2016, hlm. 221.
Bibliografi
sunting- Ackerman, J. D. (2000). "Abiotic pollen and pollination: ecological, functional, and evolutionary perspectives". Plant Systematics and Evolution (dalam bahasa Inggris). 222 (1): 167–185. Bibcode:2000PSyEv.222..167A. doi:10.1007/BF00984101. ISSN 1615-6110. S2CID 36015720.
- Armbruster, W. Scott (2014). "Floral specialization and angiosperm diversity: phenotypic divergence, fitness trade-offs and realized pollination accuracy". AoB Plants (dalam bahasa Inggris). 6. doi:10.1093/aobpla/plu003. ISSN 2041-2851. PMC 4038416. PMID 24790124.
- Atamian, Hagop S.; Creux, Nicky M.; Brown, Robin Isadora; Garner, Austin G.; Blackman, Benjamin K.; Harmer, Stacey L. (2016). "Circadian regulation of sunflower heliotropism, floral orientation, and pollinator visits". Science (dalam bahasa Inggris). 353 (6299): 587–590. Bibcode:2016Sci...353..587A. doi:10.1126/science.aaf9793. ISSN 0036-8075. PMID 27493185.
- Ausín, Israel; Alonso-Blanco, Carlos; Martínez-Zapater, José-Miguel (2005). "Environmental regulation of flowering". Int J Dev Biol. 49 (5–6): 689–705. doi:10.1387/ijdb.052022ia. ISSN 0214-6282. PMID 16096975.
- Baczyński, Jakub; Claßen-Bockhoff, Regine (2023). "Pseudanthia in angiosperms: a review". Annals of Botany. 132 (2): 179–202. doi:10.1093/aob/mcad103. ISSN 0305-7364. PMC 10583202. PMID 37478306.
- Bawa, K. S. (1990). "Plant-pollinator interactions in tropical rain forests". Annual Review of Ecology and Systematics. 21 (1): 399–422. Bibcode:1990AnRES..21..399B. doi:10.1146/annurev.es.21.110190.002151. ISSN 0066-4162. JSTOR 2097031.
- Becker, Annette; Alix, Karine; Damerval, Catherine (2011). "The evolution of flower development: current understanding and future challenges". Annals of Botany. 107 (9): 1427–1431. doi:10.1093/aob/mcr122. ISSN 0305-7364. PMC 3108812. PMID 21793247.
- Beekman, Madeleine; Nieuwenhuis, Bart; Ortiz-Barrientos, Daniel; Evans, Jonathan P. (2016). "Sexual selection in hermaphrodites, sperm and broadcast spawners, plants and fungi". Philosophical Transactions: Biological Sciences. 371 (1706): 1–13. doi:10.1098/rstb.2015.0541. ISSN 0962-8436. JSTOR 26143395. PMC 5031625. PMID 27619704.
- Benton, Michael J.; Wilf, Peter; Sauquet, Hervé (2022). "The angiosperm terrestrial revolution and the origins of modern biodiversity". New Phytologist (dalam bahasa Inggris). 233 (5): 2017–2035. Bibcode:2022NewPh.233.2017B. doi:10.1111/nph.17822. hdl:1983/82a09075-31f4-423e-98b9-3bb2c215e04b. ISSN 0028-646X. PMID 34699613.
- Bowler, Diana E.; Benton, Tim G. (2005). "Causes and consequences of animal dispersal strategies: relating individual behaviour to spatial dynamics". Biological Reviews of the Cambridge Philosophical Society. 80 (2): 205–225. doi:10.1017/S1464793104006645. PMID 15921049. S2CID 39351147.
- Buchmann, Stephen L. (2016). The reason for flowers: their history, culture, biology, and how they change our lives (Edisi ke-1). Scribner. ISBN 978-1-4767-5552-6. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Castel, Baptiste; El Mahboubi, Karima; Jacquet, Christophe; Delaux, Pierre-Marc (2024). "Immunobiodiversity: conserved and specific immunity across land plants and beyond". Molecular Plant (dalam bahasa Inggris). 17 (1): 92–111. Bibcode:2024MPlan..17...92C. doi:10.1016/j.molp.2023.12.005. ISSN 1674-2052. PMID 38102829.
- Chanderbali, Andre S; Berger, Brent A; Howarth, Dianella G; Soltis, Pamela S; Soltis, Douglas E (2016). "Evolving ideas on the origin and evolution of flowers: new perspectives in the genomic era". Genetics. 202 (4): 1255–1265. doi:10.1534/genetics.115.182964. ISSN 1943-2631. PMC 4905540. PMID 27053123.
- Chauhan, Avnish; Chauhan, Manya; Sethi, Muneesh; Bodhe, Arvind; Tomar, Anirudh; Shikha; Singh, Nitesh (2024), Srivastav, Arun Lal; Bhardwaj, Abhishek Kumar; Kumar, Mukesh (ed.), "Application of flower wastes to produce valuable products", Valorization of biomass wastes for environmental sustainability: green practices for the rural circular economy (dalam bahasa Inggris), Cham: Springer Nature Switzerland, hlm. 251–268, doi:10.1007/978-3-031-52485-1_14, ISBN 978-3-031-52485-1
- Coyago-Cruz, Elena; Moya, Melany; Méndez, Gabriela; Villacís, Michael; Rojas-Silva, Patricio; Corell, Mireia; Mapelli-Brahm, Paula; Vicario, Isabel M.; Meléndez-Martínez, Antonio J. (2023). "Exploring Plants with Flowers: From Therapeutic Nutritional Benefits to Innovative Sustainable Uses". Foods (dalam bahasa Inggris). 12 (22): 4066. doi:10.3390/foods12224066. ISSN 2304-8158. PMC 10671036. PMID 38002124.
- Cresswell, Julia (2010). Oxford dictionary of word origins. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-954793-7 – via Internet Archive. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- De Craene, Louis P. Ronse (2010). Floral diagrams (PDF). Cambridge University Press. doi:10.1017/cbo9780511806711. ISBN 978-0-511-80671-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Delaney, Sara; von Wettberg, Eric J. B. (2023). "Toward the next angiosperm revolution: agroecological food production as a driver for biological diversity". Elementa: Science of the Anthropocene. 11 (1): 00134. Bibcode:2023EleSA..11..134D. doi:10.1525/elementa.2022.00134. ISSN 2325-1026.
- Dellinger, Agnes S. (2020). "Pollination syndromes in the 21st century: where do we stand and where may we go?". New Phytologist (dalam bahasa Inggris). 228 (4): 1193–1213. doi:10.1111/nph.16793. ISSN 1469-8137. PMID 33460152.
- Delpeuch, Pauline; Jabbour, Florian; Damerval, Catherine; Schönenberger, Jürg; Pamperl, Susanne; Rome, Maxime; Nadot, Sophie (2022). "A flat petal as ancestral state for Ranunculaceae". Frontiers in Plant Science (dalam bahasa Inggris). 13 961906. Bibcode:2022FrPS...1361906D. doi:10.3389/fpls.2022.961906. ISSN 1664-462X. PMC 9532948. PMID 36212342.
- de Vaan, Michiel (2008). Etymological dictionary of Latin and the other Italic languages (dalam bahasa Inggris). Brill. ISBN 978-90-04-16797-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Eames, A. J. (1961). Morphology of the angiosperms. McGraw-Hill Book Co. LCCN 60015757. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Endress, Peter K. (1996). Diversity and evolutionary biology of tropical flowers (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 0-521-42088-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Feng, Hui-Hui; Wang, Xiao-Yue; Luo, Yi-Bo; Huang, Shuang-Quan (2023). "Floral scent emission is the highest at the second night of anthesis in Lonicera japonica (Caprifoliaceae)". Journal of Systematics and Evolution (dalam bahasa Inggris). 61 (3): 530–537. Bibcode:2023JSyEv..61..530F. doi:10.1111/jse.12916. ISSN 1759-6831.
- Forget, Pierre-Michel (2005). Seed fate: predation, dispersal, and seedling establishment. CABI Pub. ISBN 0-85199-806-2. OCLC 54803650. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Friedman, Jannice (2011). "Gone with the wind: understanding evolutionary transitions between wind and animal pollination in the angiosperms". The New Phytologist. 191 (4): 911–913. Bibcode:2011NewPh.191..911F. doi:10.1111/j.1469-8137.2011.03845.x. JSTOR 20869225. PMID 21834912.
- Friis, Else Marie; Doyle, James A.; Endress, Peter K.; Leng, Qin (2003). "Archaefructus – angiosperm precursor or specialized early angiosperm?". Trends in Plant Science (dalam bahasa Inggris). 8 (8): 369–373. doi:10.1016/S1360-1385(03)00161-4. ISSN 1364-6613. PMID 12927969.
- Georgadaki, Katerina; Khoury, Nikolas; Spandidos, Demetrios A.; Zoumpourlis, Vasilis (2016). "The molecular basis of fertilization (review)". International Journal of Molecular Medicine. 38 (4): 979–986. doi:10.3892/ijmm.2016.2723. ISSN 1107-3756. PMC 5029953. PMID 27599669.
- Gomez, Bernard; Daviero-Gomez, Véronique; Coiffard, Clément; Barral, Abel; Martín-Closas, Carles; Dilcher, David L. (2020). "Montsechia vidalii from the barremian of Spain, the earliest known submerged aquatic angiosperm, and its systematic relationship to Ceratophyllum". Taxon. 69 (6): 1273–1292. Bibcode:2020Taxon..69.1273G. doi:10.1002/tax.12409. ISSN 1996-8175.
- Goody, Jack (1993). The culture of flowers. Cambridge University Press. ISBN 0-521-41441-5 – via Internet Archive. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Höcherl, Nicole; Siede, Reinhold; Illies, Ingrid; Gätschenberger, Heike; Tautz, Jürgen (2012). "Evaluation of the nutritive value of maize for honey bees". Journal of Insect Physiology. 58 (2): 278–285. Bibcode:2012JInsP..58..278H. doi:10.1016/j.jinsphys.2011.12.001. ISSN 0022-1910. PMID 22172382. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2021-06-24. Diakses tanggal 2021-06-20.
- Howe, H. F.; Smallwood, J. (1982). "Ecology of seed dispersal" (PDF). Annual Review of Ecology and Systematics. 13 (1): 201–228. Bibcode:1982AnRES..13..201H. doi:10.1146/annurev.es.13.110182.001221. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2006-05-13.
- Kostyun, Jamie L.; Robertson, Josephine E.; Preston, Jill C. (2019). "Evidence of a largely staminal origin for the Jaltomata calliantha (Solanaceae) floral corona". EvoDevo. 10 (1): 9. doi:10.1186/s13227-019-0122-9. ISSN 2041-9139. PMC 6475103. PMID 31019674.
- Krishnamurthy, K. V. (2015), Bahadur, Bir; Venkat Rajam, Manchikatla; Sahijram, Leela; Krishnamurthy, K.V. (ed.), "Pre-fertilization: reproductive growth and development", Plant Biology and Biotechnology (dalam bahasa Inggris), New Delhi: Springer India, hlm. 409–440, doi:10.1007/978-81-322-2286-6_17, ISBN 978-81-322-2285-9, diakses tanggal 2025-05-16
- Leins, Peter (2010). Flower and fruit: morphology, ontogeny, phylogeny, function and ecology. Claudia Erbar. Schweizerbart. ISBN 978-3-510-65261-7. OCLC 678542669. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Li, Zheng; Lathe, Rahul S.; Li, Jinping; He, Hong; Bhalerao, Rishikesh P. (2022). "Towards understanding the biological foundations of perenniality". Trends in Plant Science. 27 (1): 56–68. Bibcode:2022TPS....27...56L. doi:10.1016/j.tplants.2021.08.007. ISSN 1360-1385. PMID 34561180.
- Magallón, Susana; Gómez-Acevedo, Sandra; Sánchez-Reyes, Luna L.; Hernández-Hernández, Tania (2015). "A metacalibrated time-tree documents the early rise of flowering plant phylogenetic diversity". New Phytologist (dalam bahasa Inggris). 207 (2): 437–453. Bibcode:2015NewPh.207..437M. doi:10.1111/nph.13264. ISSN 1469-8137. PMID 25615647.
- Mauseth, James D. (2016). Botany: an introduction to plant biology (Edisi ke-6). Jones & Bartlett Learning. ISBN 978-1-284-07753-7. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Miller, Renee; Owens, Simon J.; Rørslett, Bjørn (2011). "Plants and colour: flowers and pollination". Optics & Laser Technology. Colour and Design II: Colour in plants and animals – Inspiration for Design. 43 (2): 282–294. Bibcode:2011OptLT..43..282M. doi:10.1016/j.optlastec.2008.12.018.
- Minorsky, Peter V. (2019). "The functions of foliar nyctinasty: a review and hypothesis". Biological Reviews. 94 (1): 216–229. doi:10.1111/brv.12444. ISSN 1469-185X. PMC 7379275. PMID 29998471.
- Murai, Koji (2013). "Homeotic genes and the ABCDE model for floral organ formation in wheat". Plants (dalam bahasa Inggris). 2 (3): 379–395. Bibcode:2013Plnts...2..379M. doi:10.3390/plants2030379. ISSN 2223-7747. PMC 4844379. PMID 27137382.
- Namba, Shigetou (2019). "Molecular and biological properties of phytoplasmas". Proceedings of the Japan Academy, Series B. 95 (7): 401–418. Bibcode:2019PJAB...95..401N. doi:10.2183/pjab.95.028. ISSN 0386-2208. PMC 6766451. PMID 31406061.
- Ng, Medard; Yanofsky, Martin F. (2001). "Function and evolution of the plant MADS-box gene family". Nature Reviews Genetics (dalam bahasa Inggris). 2 (3): 186–195. doi:10.1038/35056041. PMID 11256070.
- Northfield, Tobin D.; Ives, Anthony R. (2013). Barton, Nick H. (ed.). "Coevolution and the effects of climate change on interacting species". PLOS Biology (dalam bahasa Inggris). 11 (10) e1001685. doi:10.1371/journal.pbio.1001685. ISSN 1545-7885. PMC 3805473. PMID 24167443.
- Ollerton, Jeff (2017). "Pollinator diversity: distribution, ecological function, and conservation". Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics (dalam bahasa Inggris). 48: 353–376. doi:10.1146/annurev-ecolsys-110316-022919.
- Osiadacz, Barbara; Kręciała, Mirosław (2014). "Ophrys apifera Huds. (Orchidaceae), a new orchid species to the flora of Poland". Biodiversity Research and Conservation. 36 (1): 11–16. doi:10.2478/biorc-2014-0027. ISSN 1897-2810.
- Pandey, A. K. (2023). Reproductive biology of angiosperms (Edisi ke-1). CRC Press. ISBN 978-1-032-19620-6. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Peach, Kristen; Mazer, Susan J. (2019). "Heteranthery in Clarkia: pollen performance of dimorphic anthers contradicts expectations". American Journal of Botany (dalam bahasa Inggris). 106 (4): 598–603. doi:10.1002/ajb2.1262. PMID 30901494.
- Pijl, L. van der (1972). Principles of dispersal in higher plants (Edisi ke-2). Springer-Verlag. ISBN 978-3-642-96108-3. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2021-07-09. Diakses tanggal 2021-07-01.
- Prunet, Nathanaël; Morel, Patrice; Negrutiu, Ioan; Trehin, Christophe (2009). "Time to stop: flower meristem termination". Plant Physiology. 150 (4): 1764–1772. doi:10.1104/pp.109.141812. ISSN 0032-0889. PMC 2719151. PMID 19493967.
- Reynolds, Joan; Tampion, John (1983). Double flowers: a scientific study. Diterbitkan untuk Polytechnic of Central London Press oleh Pembridge Press. ISBN 0-86206-004-4 – via Internet Archive. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Rogers, Hilary J. (2006). "Programmed dell death in floral organs: how and why do flowers die?". Annals of Botany (dalam bahasa Inggris). 97 (3): 309–315. doi:10.1093/aob/mcj051. ISSN 1095-8290. PMC 2803638. PMID 16394024.
- Rouhan, Germinal; Gaudeul, Myriam (2021). "Plant taxonomy: A historical perspective, current challenges, and perspectives". Dalam Besse, Pascale (ed.). Molecular plant taxonomy: methods and protocols. Methods in molecular biology (Edisi ke-2). Humana Press. ISBN 978-1-0716-0997-2. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Rudall, Paula J.; Hilton, Jason; Vergara-Silva, Francisco; Bateman, Richard M. (2011). "Recurrent abnormalities in conifer cones and the evolutionary origins of flower-like structures". Trends in Plant Science (dalam bahasa Inggris). 16 (3): 151–159. Bibcode:2011TPS....16..151R. doi:10.1016/j.tplants.2010.11.002. ISSN 1360-1385. PMID 21144793.
- Santos, Izabel Cristina dos; Reis, Simone Novaes (2021). "Edible flowers: traditional and current use". Ornamental Horticulture (dalam bahasa Inggris). 27 (4): 438–445. Bibcode:2021OHRBH..27..438S. doi:10.1590/2447-536X.v27i4.2392. ISSN 2447-536X.
- Sarma, Khoisnam; Tandon, Rajesh; Shivanna, K. R.; Ram, H. Y. Mohan (2007). "Snail-pollination in Volvulopsis nummularium". Current Science. 93 (6): 826–831. JSTOR 24099128.
- Sattler, R. (1973). Organogenesis of flowers. A photographic text-atlas. University of Toronto Press. ISBN 0-8020-0193-9 – via Internet Archive. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Sauquet, Hervé; von Balthazar, Maria; Magallón, Susana; Doyle, James A.; Endress, Peter K.; Bailes, Emily J.; Barroso de Morais, Erica; Bull-Hereñu, Kester; Carrive, Laetitia; Chartier, Marion; Chomicki, Guillaume; Coiro, Mario; Cornette, Raphaël; El Ottra, Juliana H. L.; Epicoco, Cyril (2017). "The ancestral flower of angiosperms and its early diversification". Nature Communications (dalam bahasa Inggris). 8 (1) 16047. Bibcode:2017NatCo...816047S. doi:10.1038/ncomms16047. ISSN 2041-1723. PMC 5543309. PMID 28763051.
- Sharma, O. P. (2009). Plant taxonomy (Edisi ke-2). Tata McGraw Hill Education Private Limited. ISBN 978-0-07-014159-9. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Sinclair, John M. (1998). Collins English dictionary (Edisi Revisi ke-4). HarperCollins. ISBN 978-0-00-470453-1 – via Internet Archive. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Singer, Rodrigo B.; Marsaioli, Anita Jocelyne; Flach, Adriana; Reis, Mariza G. (2006). "The ecology and chemistry of pollination in Brazilian orchids: recent advances". Floriculture, ornamental and plant biotechnology. Global Science Books. ISBN 4-903313-00-X. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Song, Bo; Sun, Lu; Barrett, Spencer C. H.; Moles, Angela T.; Luo, Ya-Huang; Armbruster, W. Scott; Gao, Yong-Qian; Zhang, Shuang; Zhang, Zhi-Qiang; Sun, Hang (2022). "Global analysis of floral longevity reveals latitudinal gradients and biotic and abiotic correlates". New Phytologist (dalam bahasa Inggris). 235 (5): 2054–2065. Bibcode:2022NewPh.235.2054S. doi:10.1111/nph.18271. ISSN 0028-646X. PMID 35611604.
- Sun, Jiyu; Bhushan, Bharat; Tong, Jin (2013). "Structural coloration in nature". RSC Advances. 3 (35): 14862. Bibcode:2013RSCAd...314862S. doi:10.1039/C3RA41096J. ISSN 2046-2069.
- Turck, F.; Fornara, F.; Coupland, G. (2008). "Regulation and identity of florigen: flowering locus T moves centre Stage". Annual Review of Plant Biology. 59 (1): 573–594. Bibcode:2008AnRPB..59..573T. doi:10.1146/annurev.arplant.59.032607.092755. hdl:11858/00-001M-0000-0012-374F-8. PMID 18444908. S2CID 39798675. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2019-12-15. Diakses tanggal 2019-07-23.
- Vázquez-Fresno, Rosa; Rosana, Albert Remus R.; Sajed, Tanvir; Onookome-Okome, Tuviere; Wishart, Noah A.; Wishart, David S. (2019). "Herbs and spices- biomarkers of intake based on human intervention studies – a systematic review". Genes & Nutrition. 14 (1): 18. doi:10.1186/s12263-019-0636-8. ISSN 1865-3499. PMC 6532192. PMID 31143299.
- Voon, Han Ching; Bhat, Rajeev; Rusul, Gulam (2012). "Flower extracts and their essential oils as potential antimicrobial agents for food uses and pharmaceutical applications". Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 11 (1): 34–55. doi:10.1111/j.1541-4337.2011.00169.x.
- Vu, Danh C.; Alvarez, Sophie (2021). "Phenolic, carotenoid and saccharide compositions of Vietnamese Camellia sinensis teas and herbal teas". Molecules (dalam bahasa Inggris). 26 (21): 6496. doi:10.3390/molecules26216496. ISSN 1420-3049. PMC 8587765. PMID 34770903.
- Walker, Timothy (2020). Pollination: The enduring relationship between plant and pollinator. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-20375-1. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Wang, Xin (2023). "Origin of angiosperms: problems, challenges, and solutions". Life (dalam bahasa Inggris). 13 (10): 2029. Bibcode:2023Life...13.2029W. doi:10.3390/life13102029. ISSN 2075-1729. PMC 10607945. PMID 37895411.
- Wang, Yunyun; Luo, Ao; Lyu, Tong; Dimitrov, Dimitar; Liu, Yunpeng; Li, Yichao; Xu, Xiaoting; Freckleton, Robert P; Hao, Zhanqing; Wang, Zhiheng (2023). "Global distribution and evolutionary transitions of floral symmetry in angiosperms". Science Advances. 9 (43) eadg2555. Bibcode:2023SciA....9G2555W. doi:10.1126/sciadv.adg2555. ISSN 2375-2548. PMC 10599613. PMID 37878700.
- Weberling, Focko (1992). Morphology of flowers and inflorescences. Cambridge University Press. ISBN 0-521-25134-6 – via Internet Archive. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Xu, Shujuan; Chong, Kang (2018). "Remembering winter through vernalisation". Nature Plants (dalam bahasa Inggris). 4 (12): 997–1009. Bibcode:2018NatPl...4..997X. doi:10.1038/s41477-018-0301-z. ISSN 2055-0278. PMID 30478363.
- Zhang, Yangbo; Xiong, Yifan; An, Huimin; Li, Juan; Li, Qin; Huang, Jianan; Liu, Zhonghua (2022). "Analysis of volatile components of jasmine and jasmine tea during scenting process". Molecules (dalam bahasa Inggris). 27 (2): 479. doi:10.3390/molecules27020479. ISSN 1420-3049. PMC 8779377. PMID 35056794.
- Zinn, Isabelle (2019). "The "truly creative" florists: when creativity becomes a gendered privilege". Journal of Contemporary Ethnography (dalam bahasa Inggris). 48 (3): 429–447. doi:10.1177/0891241618792074. ISSN 0891-2416.